www.lensautama.id – Kondisi ekonomi global saat ini sedang menghadapi tantangan yang cukup serius, di mana efek dari krisis ini terasa di berbagai sektor. Salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya angka pengangguran di kalangan generasi muda, yang menjadi perhatian khusus banyak pihak di seluruh dunia.
Salah satu negara yang semakin terperosok dalam masalah ini adalah China. Banyak lulusan muda di negara tersebut mengalami kesulitan untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan pendidikan yang telah mereka tempuh selama ini.
Fenomena ini mencuat dalam laporan terbaru yang menggambarkan bagaimana krisis lapangan kerja berdampak pada para sarjana muda di China. Dalam sebuah bursa kerja yang diadakan di Beijing, anggota masyarakat yang berharap mendapatkan pekerjaan mengungkapkan kekecewaan yang mendalam saat menghadapi realitas yang suram.
“Saya melihat peluang kerja sangat terbatas, dan kondisi pasar tenaga kerja sepi, jadi saya memilih untuk tidak melanjutkan pencarian di posisi impian,” kata seorang lulusan berusia 22 tahun dari Harbin University of Science and Technology. Ia menggambarkan betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan yang memadai.
Sama halnya dengan seorang sarjana teknik kimia yang sudah menganggur selama delapan bulan, merasakan kesulitan yang serupa. Meski pernah belajar di institusi bergengsi, kenyataan di lapangan tidak sejalan dengan harapannya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan.
Seorang lulusan vokasi juga berbagi kisahnya, di mana ia harus menurunkan standar dengan mengambil pekerjaan di luar bidang keahliannya, di mana ia tidak mendapatkan imbalan yang sepadan. Ketidakcocokan antara pendidikan dan dunia kerja semakin memperburuk situasi ini.
Analisis Krisis Lapangan Kerja di China yang Makin Parah
Pendiri sebuah lembaga think tank yang berbasis di Shanghai mengaitkan dilema yang dihadapi para pencari kerja muda ini dengan kondisi pasar kerja yang sedang krisis. Ketimpangan antara pendidikan yang mereka terima dan kebutuhan industri menjadi salah satu masalah utama yang harus diselesaikan.
Banyak lulusan dari jurusan populer seperti Teknik dan Kecerdasan Buatan sulit mendapatkan pekerjaan yang relevan, padahal industri ini sangat berkembang. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya persaingan yang kunjung ketat di bursa kerja, mengakibatkan lulusan semakin sulit untuk menonjol.
Kondisi ini berbuah istilah baru dalam masyarakat, yakni “anak dengan ekor busuk”. Istilah ini merujuk pada mereka yang terpaksa bekerja dengan gaji rendah dan bergantung kepada orang tua, karena tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Ini merupakan refleksi nyata dari masalah mendalam yang ada di dalam sistem ketenagakerjaan.
Dari pengamatan yang ada, banyak sektor yang traditionally menyerap lulusannya, seperti startup dan pendidikan, kini mengalami penurunan, menunjukkan adanya masalah struktural yang lebih kompleks dalam pasar kerja.
Walaupun begitu, harapan masih ada, dan perbaikan diinginkan untuk masa depan pekerjaan di China. Kunci solusi terletak pada penciptaan keselarasan antara keahlian yang diajarkan di bangku kuliah dan kebutuhan pasar kerja.
Perubahan Sikap terhadap Pekerjaan di Kalangan Generasi Muda
Seorang akademisi dari Cornell University mencatat adanya pergeseran budaya terhadap cara pandang generasi muda dalam melihat peluang kerja. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang berusaha meraih kesempatan apapun, para sarjana muda kini lebih skeptis terhadap pekerjaan berkualitas rendah.
Mereka cenderung memilih untuk berinovasi atau menunggu kesempatan yang lebih baik, alih-alih menerima pekerjaan sembarangan. Ketidakcocokan nilai-nilai dan harapan ini menciptakan fenomena baru yang digambarkan sebagai “merunduk,” di mana mereka secara sukarela mundur dari tuntutan pasar kerja yang semakin kompetitif.
Akibatnya, banyak mahasiswa yang merasa tertekan dan kehilangan motivasi, terutama ketika mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang telah dilalui. Ini adalah masalah psikologis yang serius yang patut mendapat perhatian lebih.
Seorang profesor dari University of Michigan pun mengungkapkan bahwa ketidakmampuan untuk mendapatkan pekerjaan dapat menghilangkan rasa harga diri dan tujuan hidup, membuat banyak dari mereka merasa hampa dan bingung tentang arah karir mereka.
Pergeseran sikap ini mengarah pada pencarian makna yang lebih dalam dalam karir, sesuatu yang jauh melampaui sekadar mendapatkan pekerjaan hanya untuk memenuhi kebutuhan.
Angka Pengangguran yang Meningkat di Kalangan Sarjana
Prediksi jumlah lulusan universitas di China tahun ini akan menjadi sejarah baru, dengan angka mencapai lebih dari 12 juta orang. Ini adalah sinyal bahwa pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk mengatasi masalah lapangan kerja yang semakin mendesak.
Ketidakcocokan di pasar kerja semakin mencolok, dan pemerintah telah menunjukkan kesadaran akan hal ini. Langkah-langkah yang diusulkan untuk mengatasi pengangguran termasuk meningkatkan peluang kerja dan memberikan dukungan yang lebih baik bagi kewirausahaan.
Mereka juga berencana mengembalikan premi asuransi untuk pengangguran dan memberikan subsidi untuk meningkatkan lapangan kerja. Target pemerintah adalah untuk menciptakan lebih dari 12 juta pekerjaan baru di area kota selama tahun ini, sebuah upaya yang patut dicatat.
Akan tetapi, meski jumlah lulusan yang memasuki pasar kerja secara signifikan meningkat, tantangan lain muncul: kurangnya tenaga kerja terampil di sektor-sektor kritis. Diperkirakan akan ada kekurangan hingga 30 juta pekerja terampil di sektor manufaktur pada beberapa tahun ke depan.
Penting untuk dimengerti bahwa membantu para lulusan saat ini memerlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif, tidak hanya untuk menangani pengangguran tapi juga untuk memastikan bahwa keahlian mereka sesuai dengan kebutuhan industri yang terus berubah.