www.lensautama.id – Panasnya ketegangan global saat ini diperparah oleh konflik yang berlangsung antara Israel dan Iran, terutama dengan keterlibatan Amerika Serikat yang semakin intens. Jika situasi ini tidak terkendali, dampak buruknya dapat dirasakan oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang mungkin akan menghadapi konsekuensi serius dalam sektor energi.
Indonesia, sebagai negara yang tergantung pada impor minyak, menghadapi ancaman yang memengaruhi ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan kondisi cadangan minyak yang kritis hanya mampu bertahan antara 19 hingga 29 hari, aspek ini perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak.
Cadangan energi Indonesia saat ini hanya terbatas pada penyimpanan operasional milik PT Pertamina (Persero) dan belum ada Cadangan Penyangga Energi (CPE) yang memadai untuk menjamin ketahanan nasional. Hal ini menunjukkan betapa rentannya negara ini terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan energi.
Risiko Terkait Ketidakseimbangan Pasar Energi Global
Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, menyatakan bahwa hingga 16 Juni 2025, cadangan BBM di Indonesia dipastikan dalam keadaan aman, meskipun tetap di bawah angka ideal. Masyarakat diharapkan untuk lebih hemat dalam konsumsi BBM, mengingat potensi gangguan di Selat Hormuz yang menghambat arus pasokan energi global.
Selat Hormuz merupakan jalur penting bagi hampir 20% pasokan minyak dunia. Ketegangan di wilayah ini dapat memicu lonjakan harga yang lebih tinggi lagi, yang akan dirasakan bukan hanya oleh konsumen tetapi juga oleh pemerintah dalam bentuk peningkatan subsidi BBM.
Putra Adhiguna dari Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menegaskan perlunya langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Program elektrifikasi kendaraan dinilai dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan pada BBM dan LPG yang kian mahal.
Statistik Terbaru Tentang Impor Energi Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami lonjakan impor minyak dan gas bumi hingga mencapai USD 36,27 miliar pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan USD 35,83 miliar di tahun sebelumnya, memperlihatkan ketergantungan yang tinggi pada energi asing.
Komposisi dari impor tersebut mencakup sekitar USD 10,35 miliar untuk minyak mentah, meskipun mengalami penurunan kecil dibandingkan tahun 2023. Di sisi lain, impor produk minyak, termasuk BBM, melonjak menjadi USD 25,92 miliar, menunjukkan kebutuhan energi domestik yang terus meningkat.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendalam mengenai strategi jangka panjang Indonesia untuk mencapai kemandirian energi. Mengingat sumber daya yang terbatas, pemerintah harus segera merumuskan langkah-langkah relevan agar tidak terjebak dalam siklus ketergantungan energi global yang berisiko.
Kenaikan Harga Minyak Global yang Signifikan
Ketidakpastian pasokan yang ditimbulkan oleh penutupan Selat Hormuz menciptakan situasi kritis di pasar minyak. Para analis memperkirakan bahwa jika penutupan berlangsung lama, harga minyak bisa menembus USD 85 hingga USD 90 per barel dalam waktu dekat.
Goldman Sachs dan Rapidan Energy memperkirakan harga minyak bisa melambung hingga di atas USD 100 per barel jika kondisi ini berlanjut. Sementara itu, JPMorgan berpendapat bahwa risiko Iran menutup selat tersebut kecil, mengingat implikasi yang sangat serius terhadap hubungan internasional.
Dengan Iran sebagai salah satu produsen minyak terbesar di OPEC, yang memproduksi 3,3 juta barel per hari, potensi dampak penutupan akan dirasakan secara global. Hal ini akan mengakibatkan penghentian aliran pendapatan utama dari ekspor minyaknya, terutama ke China yang merupakan pelanggan terbesar.