www.lensautama.id –
Jakarta, Ketegangan antara Amerika Serikat dan China semakin memanas, terutama dalam perlombaan teknologi kecerdasan buatan (AI). Dua raksasa ekonomi ini tidak henti-hentinya menerapkan kebijakan yang saling mendiskreditkan satu sama lain, demi mempertahankan dominasi dalam bidang teknologi yang semakin vital ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, senjata utama yang digunakan oleh Amerika Serikat adalah kebijakan pembatasan ekspor chip ke China. Chip ini berperan penting dalam pengembangan AI, yang dalam aplikasinya mampu mengolah data besar serta melatih AI untuk memberikan hasil yang akurat. Namun, imbas dari tindakan tersebut membuat China mengambil langkah serupa, yaitu memblokir ekspor mineral penting ke AS seperti galium dan germanium, yang juga krusial dalam pembuatan semikonduktor.
Ketakutan di pihak AS berakar dari anggapan bahwa China akan memanfaatkan teknologi AI untuk memperkuat kemampuan militernya. Untuk itu, mereka berupaya sekuat tenaga guna menghambat pengembangan AI di China. Menanggapi hal ini, Presiden Xi Jinping telah menggelorakan semangat kemandirian lokal, mengurangi ketergantungan pada AS melalui program ‘Big Fund’ yang memfokuskan investasi untuk industri semikonduktor. Fase pendanaan terakhir dari program ini dilaporkan mencapai angka yang fantastis, mencapai US$47,5 miliar.
Sejarah dan Pola Geopolitik
Ketegangan ini memiliki riwayat panjang yang dimulai sejak era Perang Dingin, di mana dua kekuatan besar dunia saling berebut pengaruh. Saat ini, dampak dari persaingan global ini menjadi semakin terlihat, terutama dalam konteks kecerdasan buatan. Teknologi AI diprediksi memiliki potensi ekonomi yang luar biasa, dengan estimasi mencapai US$19,9 triliun pada tahun 2030, menurut beberapa firma riset.
Proyek Manhattan Modern
Di akhir 2024, dalam upaya menghadapi kecerdasan yang setara atau bahkan lebih dari manusia, US-China Economic and Security Review Commission (USCC) merekomendasikan inisiatif besar-besaran untuk mendanai pengembangan AI dengan tingkat kecerdasan yang lebih tinggi. Pendanaan ini diasosiasikan dengan proyek Manhattan yang terkenal, yang pada zamannya mengantarkan AS pada keunggulan dalam teknologi senjata nuklir.
Rekomendasi ini diungkapkan oleh komisioner USCC, Jacob Helberg, yang menekankan pentingnya memanfaatkan periode perubahan cepat dalam teknologi untuk memperoleh kekuatan global yang lebih besar. Hal ini dipandang sebagai langkah strategis untuk melawan ambisi China dalam menguasai AI.
Investasi Besar dalam Infrastruktur AI
Tanggapan AS terhadap rekomendasi ini tampaknya sangat serius. Setelah mengambil posisi sebagai presiden, Trump segera mengumumkan investasi monumental berjumlah US$500 miliar untuk membangun infrastruktur AI guna mengimbangi kekuatan China. Proyek ini melibatkan kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan teknologi besar dan bertujuan menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja.
Menurut informasi yang beredar, proyek tersebut dimulai di Texas dengan membangun sejumlah pusat data yang tidak hanya berfungsi sebagai penyimpanan informasi tetapi juga memperkuat pemanfaatan AI untuk berbagai aplikasi, termasuk dalam bidang kesehatan.
Kemunculan Teknologi AI China yang Mengguncang
Pada awal 2025, China mengguncang dunia dengan peluncuran model AI bernama R1 DeepSeek. Menariknya, model ini dirilis sebagai perangkat sumber terbuka, yang memberi akses kepada banyak pihak untuk mengunduh dan mengembangkan lebih lanjut. R1 DeepSeek mampu menyamai performa AI dari AS namun dengan biaya yang jauh lebih rendah, menciptakan keguncangan di pasar teknologi.
Akibat peluncuran ini, banyak investor di Silicon Valley mempertanyakan strategi pengeluaran besar-besaran yang diusung perusahaan-perusahaan besar, sementara perusahaan-perusahaan seperti yang di China dapat beroperasi dengan untuk biaya yang lebih efisien. Hal ini berimplikasi besar pada pasar saham AS, yang mengalami penurunan signifikan pasca peluncuran DeepSeek.
Efek Bumerang dari Pembatasan AS
Polemik semakin memanas ketika tuduhan bahwa China melakukan penyelundupan chip-chip Nvidia ke dalam negeri terangkat ke permukaan. Dalam upaya untuk menanggapi munculnya DeepSeek, pemerintahan AS melanjutkan kebijakan pemblokiran chip ke China, suatu langkah yang dipandang dapat menjadi bumerang. Penolakan terhadap chip yang dirancang khusus dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan-perusahaan AS sendiri, yang bergantung pada pasar China.
Peluang Baru di Asia Tenggara
Dalam suasana ketegangan ini, negara-negara di Asia Tenggara mulai memanfaatkan kesempatan untuk berinvestasi dalam infrastruktur AI. Beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, dan Indonesia mengejar ketertinggalan dengan membangun pusat data dan memperkuat regulasi untuk mendukung perkembangan teknologi ini.
Data center yang dibutuhkan untuk menyokong AI membutuhkan banyak lahan dan pasokan listrik yang besar. Dengan perkembangan yang cepat, wilayah ini berpotensi menjadi tujuan utama bagi para investor dalam bidang teknologi. Beberapa perusahaan telah berinvestasi secara signifikan, dengan harapan bahwa wilayah ini dapat menjadi pusat inovasi berbasis AI yang relevan di masa depan.
Dalam era yang terus berkembang ini, penting bagi setiap negara untuk menyiapkan regulasi yang memadai guna mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh teknologi AI, terutama dalam hal etika dan dampak sosial.