Jakarta – Dalam beberapa waktu terakhir, perhatian publik tertuju pada kinerja perusahaan-perusahaan farmasi yang dikelola oleh pemerintah, terutama PT Indofarma Tbk. (INAF) dan PT Kimia Farma Tbk. (KAEF). Isu yang berkembang mencakup masalah utang daring yang dialami Indofarma serta penunggakan gaji sekitar 12.000 karyawan Kimia Farma. Hal ini menjadi topik yang hangat di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Komisi VI.
Anggota DPR, Imas Aan Ubudiah, mengungkapkan keprihatinan terkait penggunaan data karyawan untuk pinjol yang melekat pada INAF. Meskipun ada rencana yang dianggap baik dari direksi, namun kepercayaan masyarakat saat ini dipertanyakan. “Apa yang bisa meyakinkan kami bahwa kepemimpinan saat ini dapat membalikkan keadaan? Kami melihat raut wajah para karyawan, dan rasa ragu pun muncul,” ujarnya saat rapat dengan pihak Bio Farma.
Keraguan Imas semakin mendalam, mengingat adanya jejak digital mengenai pinjol yang digunakan. “Jejak digital ini sulit dihapus. Sekalipun ada rencana yang disampaikan, kepercayaan kami sudah terlanjur pudar,” tambahnya. Dalam kesempatan tersebut, ia menyoroti bahwa meski Kimia Farma memiliki lebih dari seribu apotek, perusahaan tersebut masih mencatat kerugian dan gagal memenuhi kewajiban membayar gaji karyawan.
Imas menerangkan bahwa masyarakat yang berada di daerah pilihannya di Garut dan Tasikmalaya merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh Kimia Farma. Namun, mereka mengeluhkan harga obat-obatan yang dianggap tidak bersaing. “Ada 12.000 pekerja yang berkolaborasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Pertanyaannya adalah bagaimana tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan yang mengalami keterlambatan gaji?” ujarnya dengan nada prihatin.
Melihat laporan keuangan KAEF yang menunjukkan rugi bersih mencapai Rp 421,8 miliar pada kuartal III-2024, angka tersebut meningkat secara signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kerugian yang dialami Indofarma juga menunjukkan tren yang tidak menggembirakan, meskipun mengalami penurunan dari Rp 191,68 miliar menjadi Rp 166,48 miliar hingga September 2024.
Di saat yang bersamaan, banyak yang mempertanyakan langkah-langkah strategis yang diambil oleh kedua perusahaan untuk keluar dari situasi yang sulit ini. Kinerja yang disoroti oleh DPR ini tidak hanya terkait dengan bagaimana perusahaan memanfaatkan peluang, melainkan juga bagaimana mereka mengelola tantangan yang ada. Masyarakat menantikan perubahan signifikan, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas, guna meyakinkan bahwa keputusan yang diambil adalah demi kebaikan semua pihak.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi, baik Indofarma maupun Kimia Farma sangat diharapkan dapat segera menemukan solusi efektif agar tidak hanya mengatasi masalah keuangan, tetapi juga membangun kembali kepercayaan masyarakat. Dalam dunia yang kini semakin terdigitalisasi, menjaga reputasi dan integritas perusahaan adalah hal yang tak bisa dianggap remeh.