www.lensautama.id – Pengawasan dalam industri fintech di Indonesia semakin ketat, terutama terkait dengan praktik-praktik yang dianggap menyebabkan pelanggaran hukum. Salah satu isu yang mencuat adalah keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menjadikan Surat Keputusan (SK) Code of Conduct sebagai alat bukti kesepakatan antara platform. Hal ini menimbulkan perdebatan yang intens dalam kalangan ahli dan praktisi hukum mengenai dasar hukum dan implikasi dari keputusan tersebut.
Dalam perspektif hukum, kebijakan yang diambil KPPU menyisakan tanda tanya besar mengenai batasan antara ketentuan etis dan perjanjian yang mengikat secara hukum. Menurut beberapa pakar, Code of Conduct lebih berfungsi sebagai pedoman perilaku daripada menjadi kesepakatan bisnis yang bisa mengakibatkan konsekuensi hukum langsung bagi pelaku usaha. Seperti yang dikatakan oleh Ditha Wiradiputra dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, penerapan SK tersebut seharusnya tidak memicu kesalahpahaman tentang persaingan sehat di antara para pelaku usaha.
Dari pernyataan Ditha, terlihat bahwa penting bagi semua pihak untuk memahami konteks dan tujuan dari Code of Conduct tersebut. Tujuan utama dari pedoman ini adalah untuk mengatur perilaku yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati, untuk memastikan layanan yang lebih baik bagi konsumen. Jika pedoman ini diinterpretasikan sebagai upaya untuk membatasi persaingan, maka hal itu tentu sangat disayangkan, terutama mengingat banyaknya pelaku usaha di sektor fintech.
Kesepakatan Harga Bunga Pinjaman dan Implikasinya
Beberapa waktu lalu, KPPU menyatakan bahwa ada indikasi pelanggaran terkait penetapan harga bunga pinjaman di antara anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam hal ini, KPPU menilai adanya bukti kesepakatan yang tertuang dalam SK AFPI tahun 2020 dan 2021. Hal ini dihubungkan dengan Pasal 5 dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang melarang praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Banyak yang mempertanyakan keabsahan klaim ini, mengingat sifat dari Code of Conduct yang biasanya bersifat non-kewajiban. Penetapan harga melalui kesepakatan antar anggota tentu membutuhkan analisis yang lebih mendalam agar tidak menimbulkan penilaian yang salah. Menurut Ditha, harus ada pemahaman yang lebih tepat terkait produk dan layanan yang ditawarkan oleh para pelaku usaha, bukan hanya sekedar kesepakatan harga.
Penting untuk mengkaji, apakah penetapan harga yang mungkin dianggap sebagai kolusi sebenarnya berdampak pada kondisi pasar secara keseluruhan. Dengan banyaknya fintech yang beroperasi, justru persaingan yang ada di pasar menunjukkan dinamika yang sehat untuk konsumen. Ditha menekankan, jika ada aturan yang mengatur harga, harus dilihat dengan cermat dan tidak langsung dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Memahami Code of Conduct dalam Konteks Hukum
KTPU dalam pengawasan industri ini perlu menelaah lebih dalam mengenai penerapan Code of Conduct. Ada kemungkinan bahwa pasal-pasal yang disangkakan tidak memenuhi unsur pelanggaran yang seharusnya untuk dikategorikan sebagai kartel atau kolusi. Ditha mengkritik langkah KPPU yang terlalu terburu-buru dalam menarik kesimpulan tanpa mempertimbangkan sudut pandang yang lebih luas.
Menurut Ditha, keberadaan banyak peserta di pasar bahkan menunjukkan bahwa industri fintech memiliki tingkat persaingan yang cukup ketat. Ini sebenarnya bertentangan dengan asumsi bahwa ada kolusi di antara percayar. Diskusi yang lebih mendalam mengenai bagaimana penyusunan Code of Conduct harus dilakukan sangat diperlukan untuk menjamin bahwa praktek yang ada tetap dalam koridor hukum.
Dari perspektif hukum, SK sebagai pedoman perilaku tidak serta merta dapat digunakan untuk menyatakan adanya kesepakatan berbahaya. Ini memberikan sebuah pembelajaran penting bagi seluruh pihak untuk lebih cermat dalam menilai setiap langkah yang diambil dalam duniai bisnis dan regulasi. Pemahaman yang komprehensif akan membantu merumuskan kebijakan yang lebih baik ke depannya.
Pentingnya Standar Operasional dalam Fintech
Kehadiran standar operasional yang ditetapkan dalam Code of Conduct diharapkan menjadi pedoman bagi para pelaku usaha dalam menjalankan praktik bisnis yang etis. Tujuannya adalah untuk melindungi konsumen dan mempromosikan keadilan dalam persaingan. Namun, jika ada kesalahpahaman tentang pedoman ini, maka justru dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap pertumbuhan sektor fintech.
Adanya peraturan yang jelas mengenai perilaku yang diharapkan dalam industri ini sangat penting guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu, semua pelaku usaha harus melaksanakan pedoman ini dengan sepenuh hati, bukan hanya untuk menghindari sanksi hukum, tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech.
Penerapan yang baik dari Code of Conduct juga akan mengurangi risiko konflik yang mungkin terjadi di masa depan. Dengan cara ini, semua pihak dapat berfokus pada peningkatan inovasi dan layanan kepada konsumen, yang pada akhirnya akan menguntungkan semua pihak dalam ekosistem bisnis ini. Masyarakat dapat merasakan manfaat nyata dari produk yang ditawarkan oleh fintech selama dijalankan dengan prinsip yang baik.