www.lensautama.id – Seiring dengan perkembangan global, China telah muncul sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Kemajuan yang pesat dalam teknologi dan militer di negara ini memberikan dampak signifikan, dan hal ini tentu menjadi perhatian serius bagi banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Jika kita menelusuri sejarah, perjalanan China sejak tahun 1980-an menunjukkan betapa sulitnya mereka meraih posisi saat ini. Pada masa itu, China masih tergolong negara berpendapatan rendah dan menghadapi berbagai tantangan, termasuk kemiskinan yang melanda banyak daerah. Namun, di tengah keterbatasan tersebut, pemerintah China bekerja keras membangun teknologi militer, dengan ambisi untuk mengejar ketertinggalan dan membangun kekuatan yang sebanding dengan negara lain, termasuk di bidang pengembangan senjata.
Perjalanan Ambisius Pengembangan Teknologi Militer di China
Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China memulai program aeronautika yang sangat ambisius dengan tujuan untuk mengembangkan jet tempur secara mandiri. Jet tempur ini, yang sebagian besar dirancang menggunakan teknologi lokal, menjadi simbol dari ambisi militer dan industri pertahanan China. Tugas ini tidaklah mudah dan memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan lebih lama daripada masa pemerintahan Deng sendiri.
Penerus Deng, yaitu Presiden Jiang Zemin, melanjutkan inisiatif ini dan pada tahun 1994 menyatakan bahwa memiliki jet tempur akan lebih berarti bagi China daripada memiliki bom atom. Hal ini menunjukkan perubahan paradigma dalam strategi pertahanan negara. China menghabiskan waktu sekitar dua setengah dekade untuk merampungkan pengembangan jet tempur J-10, yang dapat melakukan berbagai misi mulai dari pertempuran udara hingga serangan darat. Jet ini mulai beroperasi pada pertengahan tahun 2000-an dan resmi bergabung dalam operasi tempur pada tahun 2018.
Strategi dan Investasi dalam Teknologi Pertahanan
Pada 7 Mei 2025, J-10C untuk pertama kali terlibat dalam pertempuran, ketika jet tersebut menembak jatuh jet Rafale India yang terkenal canggih. Hal ini menegaskan bahwa investasi besar yang dilakukan China dalam teknologi militer telah membuahkan hasil. Selain itu, Pakistan juga menjadi negara yang mengoperasikan J-10C, serta lebih memperluas jangkauan pengaruh China di bidang pertahanan global.
Sebagai suatu negara, China tidak memiliki banyak opsi untuk membeli pesawat tempur dari negara-negara besar seperti AS atau Rusia. Oleh karena itu, mereka harus berinvestasi besar dan bekerja ekstra keras untuk membangun jet tempur seperti J-10. Menurut Mauro Gilli, seorang peneliti dari Center for Security Studies, “China tidak memiliki pilihan lain selain berinvestasi dan mengembangkan teknologi secara mandiri.” Dengan demikian, China terpaksa mengatasi keterbatasan teknologi dengan berinvestasi secara agresif serta mempelajari sistem canggih dari negara lain.
Hubungan militer antara China dan negara-negara Barat mengalami kemerosotan setelah sanksi yang diberlakukan oleh AS setelah protes di Lapangan Tiananmen tahun 1989, sehingga China beralih untuk memperkuat hubungan dengan Uni Soviet, yang kemudian bertransformasi menjadi Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet.
Keadaan ekonomi Rusia yang menurun pasca keruntuhan Uni Soviet memberi peluang bagi China untuk mengakses sistem canggih dari Moskow, yang sangat krusial bagi kemajuan program pesawat tempur J-10. Akhirnya, China berhasil menciptakan ekosistem produksi yang sepenuhnya independen untuk mengembangkan J-10, di mana semua teknologi yang digunakan kini sepenuhnya berasal dari dalam negeri.
Ketika ditanya tentang seberapa banyak teknologi yang ‘baru’ dalam J-10, banyak yang berpendapat bahwa pertanyaan itu kini sudah tidak relevan. Dari sudut pandang yang lebih luas, inovasi dan pengembangan yang telah dilakukan oleh China selama ini menunjukkan bahwa mereka kini mampu menghasilkan teknologi militer yang setara dengan teknologi dari negara-negara maju.