www.lensautama.id – Kondisi ekonomi Indonesia saat ini menunjukkan tanda-tanda yang memperingatkan. Dampak dari kesulitan ekonomi tak hanya dirasakan oleh masyarakat umum, tetapi juga tercermin dalam penjualan barang-barang tahan lama, seperti kendaraan bermotor dan hunian yang semakin bertambah sulit dijangkau.
Penjualan kendaraan bermotor mengalami penurunan yang signifikan. Data terbaru menunjukkan bahwa pada bulan Juni 2025, penjualan mobil hanya mencapai 57.761 unit, tergerus 4,71% dari bulan sebelumnya yang mencatat angka 60.612 unit.
Selama paruh pertama tahun 2025, penjualan mobil secara keseluruhan mencatatkan total 374.741 unit. Hal ini menunjukkan penurunan sebesar 8,60% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024 ketika penjualan mencapai 410.020 unit.
Penjualan Mobil yang Lesu dan Dampaknya terhadap Pembiayaan Multifinance
Lesunya penjualan mobil berbanding lurus dengan perlambatan pertumbuhan piutang multifinance hingga Mei 2025. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan, meskipun penyaluran pembiayaan mengalami peningkatan 2,83% menjadi Rp 504,58 triliun, tetapi angka ini merupakan kenaikan terendah sejak awal tahun.
Jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang tercatat pada Mei tahun lalu, yang mencapai 10,82%, jelas bahwa pasar saat ini berada dalam kondisi lebih sulit. Penurunan ini menunjukkan munculnya ketidakpastian ekonomi yang lebih besar.
Di tengah melambatnya pembiayaan, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPF) di sektor multifinance justru meningkat. Meskipun masih lebih baik dibandingkan tahun lalu, kenaikan ini menambah tekanan pada sektor keuangan yang telah tertekan.
Ketua APPI Serukan Stimulus untuk Mendorong Daya Beli Masyarakat
Suwandi, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, mengakui bahwa sektor konsumtif tengah mengalami tekanan berat. Dalam pandangannya, stimulus dari pemerintah menjadi hal yang sangat diharapkan untuk mendorong daya beli masyarakat yang sedang menurun.
Dia menekankan bahwa segmen multiguna dalam pembiayaan tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Penjualan mobil yang lesu menyebabkan proyeksi penjualan tahun ini hanya mencapai 800.000 unit, jauh dari target yang ditetapkan pada 900.000 unit.
“Kami berharap pemerintah segera mengeluarkan stimulus yang dapat mendorong konsumsi,” ungkap Suwandi. Ia mencatat bahwa situasi saat ini sangat berat bagi banyak sektor, terutama yang bergantung pada daya beli masyarakat.
Kondisi Perumahan dan Pembiayaan yang Menyusut
Kemampuan masyarakat Indonesia dalam membayar cicilan rumah pun semakin menurun. Ini terlihat dari rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) untuk kredit pemilikan rumah (KPR) yang mencapai angka tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Berdasarkan Statistik Sistem Keuangan Indonesia yang dipublikasikan pada Juni 2025, NPL KPR terpantau berada di angka 3,24% pada Mei 2025. Angka ini memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat pada 3,13%.
Sebelumnya, NPL KPR menunjukkan tren stabil di kisaran 2%, namun selama setahun ini, tren tersebut bergeser ke arah yang lebih mengkhawatirkan, mencatatkan kenaikan dari bulan ke bulan.
Rekor NPL KPR dan Analisis Pertumbuhan Pembiayaan Perumahan
Kenaikan NPL KPR tercatat lebih tinggi dibandingkan masa awal pandemi Covid-19, yang berada di angka 2,78% pada akhir 2020. Pada dua tahun berikutnya, angka NPL KPR sempat ditekan ke 2,41% dan 2,26%, tetapi mengalami lonjakan kembali.
Pada akhir 2023, NPL KPR tercatat 2,47%, lalu meningkat menjadi 2,67% pada akhir 2024. Penurunan kualitas KPR ini berdampak langsung terhadap pertumbuhan pembiayaan perumahan yang semakin melambat.
Pertumbuhan KPR yang sebelumnya stabil, mengalami penurunan dari pertumbuhan 11,51% secara tahunan di Januari 2025 menjadi hanya 8,15% pada Mei 2025. Penurunan ini mencerminkan ketidakpastian yang meluas di sektor perumahan.
Mencari Solusi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Tertekan
Dalam situasi yang kini terjadi, penting bagi pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. Stimulus dalam bentuk insentif untuk mendorong pembelian barang dan perumahan menjadi langkah yang sangat diperlukan agar daya beli masyarakat bisa terangkat kembali.
Dengan memahami bahwa sektor kendaraan dan perumahan merupakan indikator penting dari kesehatan ekonomi, kebijakan yang efektif akan membantu merangsang permintaan. Program stimulus yang tepat sasaran akan berpotensi meningkatkan penjualan sekaligus memperbaiki kualitas kredit.
Berbagai pihak, termasuk asosiasi bisnis dan pemerintah, perlu bekerja sama untuk menghadapi tantangan yang ada. Hanya dengan upaya bersama, diharapkan ekonomi Indonesia bisa bangkit kembali dari situasi sulit ini dan bergerak ke arah yang lebih positif ke depan.