Jakarta – Dalam beberapa waktu terakhir, sektor wisata menghadapi tantangan serius, terlihat dari penurunan signifikan dalam jumlah kunjungan wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia. Data yang tercatat pada Maret 2025 menunjukkan bahwa hanya ada 841.030 kunjungan, turun sebesar 2,18% dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 891.210 kunjungan. Jika dibandingkan dengan Maret tahun lalu, angkanya mengalami penurunan yang lebih tajam sebesar 5,63%.
Situasi ini tidak hanya berdampak pada wisman, tetapi juga pada jumlah wisatawan nusantara di dalam negeri. Menurut Badan Pusat Statistik, perjalanan wisatawan domestik pada Maret 2025 mencatatkan angka 88,90 juta perjalanan, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 90,49 juta perjalanan.
Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menegaskan bahwa meski ada penurunan jumlah kunjungan, kondisi perekonomian Indonesia secara keseluruhan menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per Maret 2025 mencapai Rp 104,2 triliun, atau setara dengan 0,43% dari produk domestik bruto (PDB). Pada laporan tersebut, angkanya mencerminkan 16,9% dari target defisit APBN yang ditetapkan untuk tahun 2025 sebesar Rp 616,2 triliun.
Lebih lanjut, Anggito menjelaskan bahwa setelah bulan Januari dan Februari yang penuh tantangan, kondisi mulai membaik pada bulan Maret dan April. Ia mengungkapkan bahwa okupansi hotel-hotel di berbagai daerah menunjukkan peningkatan yang positif. “Setelah sempat khawatir di awal tahun, saat ini banyak hotel yang mengalami peningkatan pengunjung,” terangnya.
Menurutnya, salah satu indikator kebangkitan sektor pariwisata adalah tingginya antusiasme masyarakat terhadap acara musik. Misalnya, konser dari grup ternama yang tiketnya cepat sekali terjual habis, bahkan harus diadakan dua hari karena permintaan yang sangat tinggi. Ini menjadi sinyal bahwa ekonomi masyarakat juga mulai membaik.
Menilai Dampak Kebijakan dan Efisiensi
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Maulana Yusran, mengatakan bahwa saat ini banyak hotel yang mengalami kesulitan tenaga kerja akibat kebijakan efisiensi dari pemerintah. Selama ini, sektor pemerintahlah yang menyuplai banyak kunjungan melalui berbagai acara, namun saat ini acara yang diadakan mengalami pengurangan signifikan.
“Sumbangan pemerintah dalam sektor pariwisata cukup signifikan, hingga 40-60% di beberapa daerah. Kini, banyak acara yang dibatalkan atau dikurangi, sehingga berdampak pada pengurangan pekerja di sektor ini,” ujarnya. Dampak paling besar dirasakan oleh hotel yang bergantung pada MICE (meetings, incentives, conventions, exhibitions), di mana separuh dari hotel-hotel tersebut harus merumahkan staf mereka karena tidak ada permintaan yang memadai.
Rilis dari Colliers pada kuartal pertama 2025 juga memperkirakan bahwa jika tidak ada langkah pelonggaran dari pemerintah, pasar hotel, terutama di Jakarta, akan menghadapi kesulitan besar. Para pengelola hotel perlu mengembangkan sumber pendapatan yang baru untuk bertahan dalam situasi ini. “Jika tidak, tahun 2025 akan menjadi tantangan berat bagi mereka,” ujar laporan tersebut.
Dengan demikian, keberlanjutan sektor pariwisata di Indonesia sangat bergantung pada berbagai faktor, termasuk pengembalian acara-acara publik dan upaya untuk meningkatkan minat wisatawan. Sementara tantangan masih ada, sinyal pemulihan mulai terlihat, memberikan harapan bagi industri yang sangat penting ini.