Jakarta – Ketegangan dalam geopolitik dunia semakin meluas, seperti yang terlihat dalam pertemuan menteri luar negeri negara-negara anggota NATO di Antalya, Turki. Pertemuan ini berlangsung pada Kamis (15/5/2025) dan sangat dipengaruhi oleh keinginan Amerika Serikat untuk meningkatkan belanja pertahanan secara signifikan. Langkah ini diambil sebagai respon terhadap berbagai ancaman yang datang dari Rusia, terorisme, serta pengaruh militer yang tumbuh dari China.
Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, menekankan pentingnya penguatan investasi pertahanan untuk menghadapi perubahan dalam lanskap ancaman global. “Kita harus melakukan lebih banyak terkait belanja pertahanan inti,” ujarnya.
Rutte juga memperingatkan potensi Rusia untuk membangun kembali kekuatan militernya dalam waktu singkat setelah konflik di Ukraina berakhir. Kekuatan ini berpotensi menambah ketidakstabilan regional dan global.
Usulan yang paling ambisius datang dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio. Ia mendorong negara-negara NATO untuk mengalokasikan hingga 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk pertahanan pada tahun 2032. Pembagian ini terdiri dari 3,5% untuk belanja militer inti dan tambahan 1,5% untuk pengembangan infrastruktur pendukung seperti pelabuhan dan jaringan logistik.
“Alliansi ini hanya sekuat mata rantai terlemahnya,” ujar Rubio. “Investasi ini penting untuk menciptakan kemampuan pertahanan abad ke-21, termasuk infrastruktur siber dan sistem logistik modern.”
Target ambisius ini jauh lebih tinggi dari standar saat ini yang ditetapkan NATO, yakni 2%. Saat ini, hanya 22 dari 32 negara anggota yang berhasil memenuhi target tersebut. Dengan adanya tekanan dari Washington, beberapa negara yang belum memenuhi, seperti Belgia, Kanada, Italia, dan Spanyol, diingatkan untuk segera berbenah.
Diskusi ini juga menjadi momentum menjelang KTT NATO yang dijadwalkan akan berlangsung di Belanda pada 24-25 Juni. Selain berfokus pada peningkatan belanja militer, pertemuan ini menunjukkan bagaimana ributnya tekanan terhadap negara-negara Eropa, dengan Presiden AS diperkirakan akan menuntut komitmen yang lebih jelas terkait kontribusi pertahanan.
Pemerintahan AS juga memberikan sinyal bahwa negara tersebut mungkin tidak lagi otomatis melindungi negara anggota NATO yang tidak memenuhi standar belanja. Sikap ini cukup kontroversial dan berpotensi menambah tantangan bagi pemerintah Eropa dalam menjamin keamanan nasional mereka.
Diskusi di Antalya tidak hanya terbatas pada isu belanja pertahanan, tetapi juga mencakup arah geopolitik yang lebih luas. Di sela-sela pertemuan, delegasi Rusia dan Ukraina tengah merintis pembicaraan damai langsung pertama sejak lebih dari tiga tahun, meskipun Presiden Rusia menunjukkan penolakan terhadap tawaran untuk bertemu langsung dengan Presiden Ukraina.
Rubio tidak terlalu optimis dengan pembicaraan ini. “Satu-satunya yang mungkin dapat memecahkan kebuntuan adalah kepemimpinan. Kita tunjukkan kepada dunia bahwa Amerika all out dalam menghadapi situasi ini,” ujar Rubio.
Sementara itu, meskipun NATO tidak memiliki mandat keamanan formal di kawasan Asia, diskusi juga mencakup bagaimana kebijakan AS akan berfokus ke arah China. Keterlibatan terakhir NATO di luar wilayah Atlantik, terutama di Afghanistan, berakhir dengan hasil yang mengecewakan, meninggalkan pertanyaan mengenai relevansi aliansi dalam menghadapi tantangan global yang lebih luas.
Mark Rutte mengakui bahwa pernyataan bersama yang akan dikeluarkan oleh NATO perlu menggambarkan dengan tepat ancaman yang datang dari Rusia sambil tetap mempertimbangkan masa depan Ukraina dalam kerangka keamanan Eropa. Namun, saat ini, Washington menolak wacana tentang keanggotaan Ukraina di dalam NATO, menciptakan tanda tanya besar bagi masa depan keamanan di kawasan tersebut.