www.lensautama.id – Dewasa ini, dunia digital menghadapi sejumlah tantangan baru yang semakin kompleks dan berbahaya. Ancaman penipuan yang dulunya menggunakan teknik manipulasi sederhana kini berevolusi, memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin maju dan sulit untuk dideteksi.
Dari penyamaran identitas hingga manipulasi audio dan visual, imajinasi penjahat siber semakin liar. Diperkirakan bahwa menjelang tahun 2025, penipuan berbasis AI akan menjadi ancaman utama bagi berbagai layanan keuangan, membuat masyarakat lebih rentan terhadap kejahatan ini.
Melihat tren ini, penting bagi masyarakat dan organisasi untuk memahami modus-modus penipuan yang ada. Upaya melindungi data pribadi dan mengikuti perkembangan teknologi menjadi sangat krusial di era digital ini.
Berikut adalah beberapa modus penipuan berbasis AI yang perlu diwaspadai, yang semakin lama semakin kompleks dan profesional dalam metode pelaksanaannya.
Memahami Penipuan Deepfake dan Serangan Email dengan AI
Salah satu bentuk penipuan yang mengalami evolusi signifikan adalah serangan email bisnis (BEC). Menggunakan teknologi AI, penjahat siber kini mampu menciptakan video serta audio yang sangat meyakinkan, menjadikannya tampak seperti pengusaha atau eksekutif. Di sebuah insiden di Hong Kong, penjahat berhasil menyamar sebagai bos perusahaan, memanfaatkan konferensi video untuk mengarahkan pegawainya mentransfer uang sebanyak hampir Rp480 miliar.
Tak hanya itu, hasil survei menunjukkan bahwa lebih dari setengah profesional akuntansi di Amerika Serikat mengaku pernah menjadi target serangan semacam ini. Kini, sekitar 40% email yang terlibat dalam BEC ternyata sepenuhnya dihasilkan oleh sistem AI.
Memberikan kesempatan bagi penjahat siber untuk membuat konten yang sulit dibedakan dari yang asli. Ini menandakan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap komunikasi bisnis dan pengembangan teknologi deteksi yang lebih baik.
Peningkatan Modus Penipuan Asmara Menggunakan Chatbot AI
Penipuan melalui hubungan asmara atau scam cinta kini juga telah bertransformasi berkat kemajuan AI. Alih-alih menggunakan manusia, banyak penipu kini memanfaatkan chatbot berbasis AI yang memiliki kemampuan untuk merayu dan menarik korban. Dengan kemampuan berkomunikasi yang hampir sempurna, korban sering kali kesulitan untuk membedakan antara manusia dan bot.
Kasus ini tidak jarang menjangkau platform media sosial terkemuka, di mana penjahat menjalankan strategi ini dengan percaya diri. Bahkan, beberapa pelaku kejahatan dari luar negeri mengakui metode ini dalam video yang tersebar di internet.
Masyarakat perlu lebih waspada dan mendidik diri mereka mengenai tanda-tanda penipuan ini, serta cara melindungi diri dari potensi kerugian finansial yang bisa ditimbulkan.
Skema “Pig Butchering” yang Menggunakan AI Secara Massal
Skema penipuan berbasis investasi yang dikenal dengan nama “pig butchering” kini juga semakin marak. Metode ini sering kali melibatkan pendekatan emosional dalam bentuk perhatian atau kasih sayang yang dipahat oleh penipu. Kini, dengan alat-alat berbasis AI seperti “Instagram Automatic Fans”, penipu dapat menjangkau banyak korban sekaligus dengan pesan yang personal.
Pesan-pesan yang dikirim sering kali mengandung kalimat seperti “Temanku merekomendasikan kamu. Apa kabar?” yang terlihat sangat bersahabat. Namun, di balik semua itu terdapat niat jahat untuk mengambil keuntungan dari kepercayaan korban.
Dengan metode tambahan seperti penggunaan teknologi deepfake dalam panggilan video, penipu semakin menciptakan situasi yang tak terduga bagi para korban mereka, menjadikan penipuan ini sangat efektif dan sulit dilacak.
Pemerasan Melalui Video Deepfake: Ancaman Terhadap Pejabat dan Eksekutif
Belakangan ini, pemerasan yang menggunakan teknologi deepfake telah menjadi isu serius yang harus diperhatikan. Penjahat kini mampu membuat video palsu yang menampilkan wajah pejabat publik atau eksekutif dan menggunakannya sebagai alat untuk ancaman. Dalam sebuah kasus di Singapura, upaya pemerasan ini berhasil menjadikan para pejabat pemerintah sebagai target dengan meminta pembayaran dalam bentuk mata uang kripto.
Video deepfake ini biasanya dibuat dengan mengambil gambar dan klip publik yang tersedia di platform sosial dan kemudian dimanipulasi untuk menciptakan konten yang menakutkan. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang sebelumnya mungkin dianggap tidak berbahaya, kini dapat digunakan untuk tujuan jahat.
Dengan kemudahan akses terhadap perangkat lunak deepfake, kita akan melihat peningkatan dalam kasus pemerasan semacam ini. Hal ini menunjukkan perlunya lebih banyak tindakan keamanan yang lebih baik, terutama bagi kalangan eksekutif dan pejabat yang mungkin menjadi sasaran empuk.