www.lensautama.id – Data kemiskinan di Indonesia menunjukkan perbedaan signifikan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Perbedaan ini disebabkan oleh cara masing-masing lembaga dalam mengukur garis kemiskinan yang digunakan.
Bank Dunia baru-baru ini melakukan pembaruan pada ukuran paritas daya beli (PPP) yang dipakai dalam pengukuran kemiskinan. Perubahan ini dari PPP 2017 ke PPP 2021 mengakibatkan perubahan standar yang sebelumnya ditetapkan.
Perubahan Penting dalam Pengukuran Kemiskinan di Indonesia
Bank Dunia menaikkan angka standardnya, di mana PPP 2021 menetapkan garis kemiskinan pada angka US$3,00 per hari. Sementara itu, angka dari PPP 2017 hanya mencapai US$2,15 per hari. Hal ini menjadi faktor utama perbedaan yang nampak dalam data kemiskinan yang dihasilkan.
Dalam rilis terbaru mereka, Bank Dunia menyebutkan bahwa dengan menggunakan nilai tukar PPP 2024 yang sebesar Rp 6.071 per dolar AS, garis kemiskinan per hari berada pada angka Rp 18.213. Ini setara dengan Rp 546.400 dalam sebulan.
Dengan perubahan ini, jumlah kemiskinan ekstrem di Indonesia versi Bank Dunia pada tahun 2024 meningkat menjadi 5,44% dari total populasi yang mencapai 285,1 juta jiwa. Sebelumnya, angka ini hanya 1,26%. Angka ini menunjukkan adanya tambahan 12 juta orang miskin di tanah air ketika menggunakan ukuran terbaru ini.
Pembandingan Data BPS dan Bank Dunia Terkait Kemiskinan
Di sisi lain, BPS pada September 2024 melaporkan bahwa kelompok miskin di Indonesia tercatat sebanyak 8,57% atau 24,06 juta jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun kedua lembaga memiliki metode pengukuran yang berbeda, hasilnya tetap memberikan gambaran yang serius terhadap situasi kemiskinan di tanah air.
Sebagai contoh, BPS mencatat bahwa garis kemiskinan per kapita di DKI Jakarta mencapai Rp 846.085 per bulan. Jika dihitung untuk satu keluarga dengan lima anggota, garis kemiskinan yang berlaku menjadi Rp 4.230.425 per bulan.
Kedua data ini menunjukkan tantangan serius dalam mengatasi kemiskinan, yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak untuk menemukan solusi yang efektif. Baik pemerintah maupun masyarakat perlu bekerja sama dalam mengatasi permasalahan yang sudah mengakar ini.
Implikasi dari Peningkatan Angka Kemiskinan di Indonesia
Dengan meningkatnya angka kemiskinan ekstrem menjadi lebih dari 5,44%, kita perlu mewaspadai dua hal penting. Pertama, potensi peningkatan ketidakstabilan sosial yang mungkin terjadi akibat meningkatnya jumlah orang yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kedua, pentingnya perhatian yang lebih besar terhadap program-program sosial yang dapat membantu warga yang terdampak.
Ketidakpastian ekonomi dan dampak dari krisis global dapat lebih memperburuk kondisi ekonomis warga. Dengan demikian, strategi yang lebih terintegrasi dan berbasis data menjadi sangat penting untuk membantu masyarakat keluar dari jeratan kemiskinan.
Pemerintah diharapkan dapat mendengarkan masukan dari berbagai stakeholders dalam menyusun kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Hal ini sangat penting untuk memitigasi efek negatif yang ditimbulkan dari keadaan ini.
Menuju Solusi Berkelanjutan bagi Masalah Kemiskinan di Tanah Air
Pentingnya edukasi dan pemberdayaan ekonomi harus menjadi fokus dalam upaya pengurangan kemiskinan. Pelatihan keterampilan, akses pendidikan yang lebih baik, serta dukungan finansial bagi usaha kecil dan menengah (UKM) dapat memberikan efek positif bagi perekonomian masyarakat.
Selain itu, kehadiran aplikasi teknologi yang inovatif dapat membantu dalam menyebarluaskan informasi dan memberikan akses terhadap sumber daya yang lebih baik. Ini adalah langkah maju menuju solusi berkelanjutan saat menghadapi masalah kemiskinan yang kompleks.
Dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan sistematis, diharapkan kondisi sosio-ekonomi masyarakat dapat diperbaiki, sehingga kita bisa bergerak menuju masa depan yang lebih cerah bagi seluruh rakyat Indonesia.